Selada kaya akan
kandungan vitamin A, C, E, betakaroten, seng, asam folat, magnesium, kalsium,
zat besi, mangan, fosfor, dan natrium. Namun, dalam beberapa kasus, selada air
dapat mengganggu orang yang mempunyai masalah pencernaan berat atau tukak
lambung.
Seperti jenis
sayur-sayuran lainnya, selada juga mengandung komponen gizi yang cukup baik,
terutama vitamin A dan vitamin K. Kandungan gizi tiap jenis selada
berbeda-beda. Kandungan vitamin A paling banyak terdapat pada selada yang
berwarna merah.
Sementara kandungan
vitamin C tertinggi terdapat pada selada jenis roman lettuce.
Kombinasi vitamin C dan betakaroten pada selada
sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung karena dapat mencegah oksidasi kolesterol.
Kombinasi vitamin C dan betakaroten pada selada
sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung karena dapat mencegah oksidasi kolesterol.
Selada juga kaya
akan vitamin K, paling banyak terdapat pada selada berdaun merah. Selain
membantu proses pembekuan darah, vitamin K berpotensi mencegah penyakit serius
seperti penyakit jantung dan stroke karena efeknya mengurangi pengerasan
pembuluh darah oleh faktor-faktor seperti timbunan plak kalsium.
Selada juga
mengandung komponen lain dalam jumlah minor, seperti vitamin B kompleks dan
berbagai mineral lainnya. Konsumsi selada jenis roman lettuce sebanyak 100 gram
cukup untuk memenuhi 34 persen kebutuhan asam folat dalam tubuh. Asam folat merupakan
komponen dalam DNA dan RNA, sehingga sangat penting untuk pertumbuhan dan
penggantian sel-sel tubuh yang rusak.
Asam folat sangat
diperlukan oleh ibu hamil untuk mengatasi anemia zat besi, serta mengurangi
risiko kelahiran bayi cacat. Asam folat juga dapat mereduksi kadar homosistein
di dalam darah. Homosistein sangat berbahaya bagi tubuh karena berpotensi
menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan lever.
Daun selada
mengandung bioflavonoid, berfungsi mirip vitamin C, yaitu
mempertahankan
fisik agar tetap awet muda. Selain itu, bioflavonoid berfungsi membantu
mempertahankan kekuatan pembuluh darah agar tidak mudah pecah. Karena itu, daun
selada sangat baik untuk mencegah penyakit stroke.
Hati-Hati Salmonella
Selada merupakan
salah satu contoh sayuran yang biasa digunakan sebagai penyusun salad dan
banyak dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Meskipun lebih nikmat dan mempunyai
nilai gizi lebih baik, konsumsi selada mentah sangat rentan terhadap
kontaminasi bakteri patogen.
Hasil penelitian
Lund et al (2000) menyebutkan, pada selada ditemukan bakteri Salmonella.
Bakteri patogen tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat
menyebabkan gastroenteritis.
Salmonella penyebab
gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala yang umumnya tampak pada 12-36 jam
setelah mengonsumsi bahan pangan yang tercemar. Gejala-gejala tersebut adalah
diare, sakit kepala, muntah-muntah, dan demam yang dapat berakhir selama 1-7
hari. Menurut Buckle et al (1987), tingkat kematian akibat Salmonella kurang dari
1 persen, tetapi jumlah ini dapat meningkat pada anak-anak, orang tua, dan
orang yang sedang sakit.
Tingkat bahaya yang
demikian tinggi mendorong beberapa lembaga yang bergerak di bidang pangan
membuat aturan sangat ketat mengenai kandungan Salmonella pada selada. Menurut
rekomendasi ICMSF (International Comission on Microbiological Spesification for
Foods) tahun 1986, kandungan Salmonella harus nihil (tidak ada) dalam 25 gram
sampel yang diuji.
Sementara itu,
menurut peraturan Public Health Laboratory Service (2000) tentang penilaian
kualitas mikrobiologi sayuran segar, juga disebutkan bahwa batas aman
Salmonella adalah tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel sayuran segar, termasuk
selada. Di Indonesia juga dipersyaratkan agar sayuran yang dimakan mentah tidak
boleh mengandung Salmonella.
Selain Salmonella,
pada selada juga mudah ditemukan bakteri patogen lainnya, seperti Escherichia
coli O157:H7, Listeria monocytogenes, dan Shigella sonnei (Lin
et al, 2000). Karena itu, semua orang yang gemar mengonsumsi sayuran mentah
seperti selada sebaiknya lebih berhati-hati.
Berdasarkan
penelitian Susilawati (2002), Salmonella selalu ditemukan pada sayuran segar.
Sementara itu, penelitian Ruslan (2003) menunjukkan bahwa Salmonella selalu
ditemukan dari tujuh kali pengambilan sampel dari semua jenis sayur olahan.
Jika hendak mengonsumsi
sayuran mentah seperti selada, sebaiknya cuci berulang kali hingga bersih. Air
yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba
penyebab kebusukan makanan. Selain itu, pencucian juga dapat dilakukan dengan
desinfektan seperti klorin.
Menurut Codex
Alimentarius Comission (2000), konsentrasi klorin yang aman digunakan untuk
desinfeksi berkisar antara 50-200 ppm (mg/kg), dengan waktu kontak 1-2 menit.
Di Amerika Serikat, maksimum 200 ppm klorin yang diizinkan untuk sanitasi buah
dan sayuran. Bila digunakan untuk pencucian buah dan sayuran segar, batas
maksimum penggunaan klorin adalah 5 ppm. Setelah dicuci dengan klorin, sayuran
harus dicuci dengan air bersih kembali.
Selain itu, proses
pemblansiran juga dapat menjadi pilihan. Blansir adalah suatu cara perlakuan
panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap
panas pada suhu sekitar 82-93°C. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit.
Selain itu, bagian-bagian selada yang tidak dinginkan, seperti akar
maupun daun yang sudah mulai membusuk, sebaiknya dibuang.
Jangan Disimpan Dekat Buah
Sebelum diolah atau
dikonsumsi, selada sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin. Sebelum
disimpan, selada harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mencegah pertumbuhan
mikroba. Lebih baik lagi jika selada dibungkus dengan plastik untuk mencegah
kontaminasi.
Penyimpanan selada
sebaiknya tidak terlalu dekat dengan buah-buahan yang dapat memproduksi etilen
seperti apel, pisang, dan buah pir, agar tidak mudah busuk. Lama penyimpanan
selada tergantung jenisnya. Selada roman lettuce dapat bertahan selama 5-7
hari, sedangkan selada butterhead hanya 2-3 hari.
Untuk menghindari
bahaya yang tidak diinginkan, sayuran segar seperti selada sebaiknya tidak
dikonsumsi dalam keadaan mentah, terutama bila disajikan untuk anak-anak atau
orang tua. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.
Penyajian usai
pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah
melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus food borne
disease (penyakit yang berasal dari makanan) di Indonesia diakibatkan oleh
penanganan sesudah pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang
terlalu lama.
Prof DR. Made
Astawan
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi
No comments:
Post a Comment