Laman

Friday, 7 September 2012

Selada Baik Untuk Ibu Hamil


Selada kaya akan kandungan vitamin A, C, E, betakaroten, seng, asam folat, magnesium, kalsium, zat besi, mangan, fosfor, dan natrium. Namun, dalam beberapa kasus, selada air dapat mengganggu orang yang mempunyai masalah pencernaan berat atau tukak lambung.

Seperti jenis sayur-sayuran lainnya, selada juga mengandung komponen gizi yang cukup baik, terutama vitamin A dan vitamin K. Kandungan gizi tiap jenis selada berbeda-beda. Kandungan vitamin A paling banyak terdapat pada selada yang berwarna merah.

Sementara kandungan vitamin C tertinggi terdapat pada selada jenis roman lettuce.
Kombinasi vitamin C dan betakaroten pada selada
sangat baik untuk menjaga kesehatan jantung karena dapat mencegah oksidasi kolesterol.

Selada juga kaya akan vitamin K, paling banyak terdapat pada selada berdaun merah. Selain membantu proses pembekuan darah, vitamin K berpotensi mencegah penyakit serius seperti penyakit jantung dan stroke karena efeknya mengurangi pengerasan pembuluh darah oleh faktor-faktor seperti timbunan plak kalsium.

Selada juga mengandung komponen lain dalam jumlah minor, seperti vitamin B kompleks dan berbagai mineral lainnya. Konsumsi selada jenis roman lettuce sebanyak 100 gram cukup untuk memenuhi 34 persen kebutuhan asam folat dalam tubuh. Asam folat merupakan komponen dalam DNA dan RNA, sehingga sangat penting untuk pertumbuhan dan penggantian sel-sel tubuh yang rusak.

Asam folat sangat diperlukan oleh ibu hamil untuk mengatasi anemia zat besi, serta mengurangi risiko kelahiran bayi cacat. Asam folat juga dapat mereduksi kadar homosistein di dalam darah. Homosistein sangat berbahaya bagi tubuh karena berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti jantung dan lever.

Daun selada mengandung bioflavonoid, berfungsi mirip vitamin C, yaitu
mempertahankan fisik agar tetap awet muda. Selain itu, bioflavonoid berfungsi membantu mempertahankan kekuatan pembuluh darah agar tidak mudah pecah. Karena itu, daun selada sangat baik untuk mencegah penyakit stroke.

Hati-Hati Salmonella


Selada merupakan salah satu contoh sayuran yang biasa digunakan sebagai penyusun salad dan banyak dikonsumsi mentah sebagai lalapan. Meskipun lebih nikmat dan mempunyai nilai gizi lebih baik, konsumsi selada mentah sangat rentan terhadap kontaminasi bakteri patogen.

Hasil penelitian Lund et al (2000) menyebutkan, pada selada ditemukan bakteri Salmonella. Bakteri patogen tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat menyebabkan gastroenteritis.

Salmonella penyebab gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala yang umumnya tampak pada 12-36 jam setelah mengonsumsi bahan pangan yang tercemar. Gejala-gejala tersebut adalah diare, sakit kepala, muntah-muntah, dan demam yang dapat berakhir selama 1-7 hari. Menurut Buckle et al (1987), tingkat kematian akibat Salmonella kurang dari 1 persen, tetapi jumlah ini dapat meningkat pada anak-anak, orang tua, dan orang yang sedang sakit.

Tingkat bahaya yang demikian tinggi mendorong beberapa lembaga yang bergerak di bidang pangan membuat aturan sangat ketat mengenai kandungan Salmonella pada selada. Menurut rekomendasi ICMSF (International Comission on Microbiological Spesification for Foods) tahun 1986, kandungan Salmonella harus nihil (tidak ada) dalam 25 gram sampel yang diuji.

Sementara itu, menurut peraturan Public Health Laboratory Service (2000) tentang penilaian kualitas mikrobiologi sayuran segar, juga disebutkan bahwa batas aman Salmonella adalah tidak terdeteksi dalam 25 gram sampel sayuran segar, termasuk selada. Di Indonesia juga dipersyaratkan agar sayuran yang dimakan mentah tidak boleh mengandung Salmonella.

Selain Salmonella, pada selada juga mudah ditemukan bakteri patogen lainnya, seperti Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes, dan Shigella sonnei (Lin et al, 2000). Karena itu, semua orang yang gemar mengonsumsi sayuran mentah seperti selada sebaiknya lebih berhati-hati.

Berdasarkan penelitian Susilawati (2002), Salmonella selalu ditemukan pada sayuran segar. Sementara itu, penelitian Ruslan (2003) menunjukkan bahwa Salmonella selalu ditemukan dari tujuh kali pengambilan sampel dari semua jenis sayur olahan.

Jika hendak mengonsumsi sayuran mentah seperti selada, sebaiknya cuci berulang kali hingga bersih. Air yang dipakai untuk mencuci harus bebas dari mikroba patogen atau mikroba penyebab kebusukan makanan. Selain itu, pencucian juga dapat dilakukan dengan desinfektan seperti klorin.   

Menurut Codex Alimentarius Comission (2000), konsentrasi klorin yang aman digunakan untuk desinfeksi berkisar antara 50-200 ppm (mg/kg), dengan waktu kontak 1-2 menit. Di Amerika Serikat, maksimum 200 ppm klorin yang diizinkan untuk sanitasi buah dan sayuran. Bila digunakan untuk pencucian buah dan sayuran segar, batas maksimum penggunaan klorin adalah 5 ppm. Setelah dicuci dengan klorin, sayuran harus dicuci dengan air bersih kembali.

Selain itu, proses pemblansiran juga dapat menjadi pilihan. Blansir adalah suatu cara perlakuan panas pada bahan dengan cara pencelupan ke dalam air panas atau pemberian uap panas pada suhu sekitar 82-93°C. Waktu blansir bervariasi antara 1-11 menit.  Selain itu, bagian-bagian selada yang tidak dinginkan, seperti akar maupun daun yang sudah mulai membusuk, sebaiknya dibuang.

Jangan Disimpan Dekat Buah

Sebelum diolah atau dikonsumsi, selada sebaiknya disimpan di dalam lemari pendingin. Sebelum disimpan, selada harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mencegah pertumbuhan mikroba. Lebih baik lagi jika selada dibungkus dengan plastik untuk mencegah kontaminasi.

Penyimpanan selada sebaiknya tidak terlalu dekat dengan buah-buahan yang dapat memproduksi etilen seperti apel, pisang, dan buah pir, agar tidak mudah busuk. Lama penyimpanan selada tergantung jenisnya. Selada roman lettuce dapat bertahan selama 5-7 hari, sedangkan selada butterhead hanya 2-3 hari.

Untuk menghindari bahaya yang tidak diinginkan, sayuran segar seperti selada sebaiknya tidak dikonsumsi dalam keadaan mentah, terutama bila disajikan untuk anak-anak atau orang tua. Proses pemasakan juga dapat membunuh mikroba yang bersifat patogen.

Penyajian usai pemasakan juga tidak boleh luput dari perhatian. Sebaiknya makanan yang telah melalui proses pemasakan langsung dikonsumsi. Sebagian besar kasus food borne disease (penyakit yang berasal dari makanan) di Indonesia diakibatkan oleh penanganan sesudah pemasakan yang tidak sempurna, seperti penyimpanan yang terlalu lama.

Prof DR. Made Astawan
Ahli Teknologi Pangan dan Gizi

No comments:

Post a Comment